Wednesday, October 24, 2012

Lukisan Budiyana Sebagai Canda Makna



Menurut penuturan pelukis Budiyana, ide atau pikiran yang mendasari pemberian judul pameran ini adalah sebuah plesetan atau permainan kata untuk member makna yang lucu. Jawawood bisa sebuah plesetan yang berhubungan dengan kata Jawawut jenis biji-bijian semacam padi yang konon menjadi makanan orang-orang yang berdiam di pulau Jawa. Bisa juga Jawawood dihubungkan dengan Hollywood atau Bollywood yang menjadi ikon film sebagai sebuah hasil kebudayaan.
Bagi saya karya-karya Budiyana bukanlah sekedar plesetan. Karya-karya Budiyana lebih sebagai sebuah guyon maton atau canda yang penuh makna. Canda makna adalah sebuah tradisi dalam masyarakat Jawa untuk menyampaikan sebuah pesan penting atau menyampaikan sebuah pengetahuan secara tidak langsung. Pesan yang disampaikan secara tidak langsung dengan bahasa yang berbalut canda ini mempunyai beberapa tujuan. Setidaknya ada tiga tujuan dari sebuah canda makna. Pertama pesan yang berbalut canda akan menjadi menarik dan tidak membosankan. Kedua, pesan yang berupa kritik yang dibalut canda akan menjadi halus dan segar sehingga tidak akan menimbulkan konflik bagi yang mengritik dan yang dikritik. Ketiga, pesan yang berisi pembelajaran atau pengetahuan yang berbalut canda akan penuh dengan simbol. Pesan yang disampaikan tidak mentah sehingga penerima pesan atau pembelajar harus mengupas simbol-simbol yang ada supaya bisa memahami maknanya. Proses pengupasan makna ini adalah sebuah proses pembelajaran yang tentu tidak mudah. Pembelajar harus berusaha keras mengupas balutan candanya untuk mendapatkan inti dari sebuah pesan tersebut. Ini adalah sebuah proses mengasah kecerdasan sekaligus pencerdasan.

Canda Makna

Seperti yang saya ungkapkan di atas, tujuan pertama dari sebuah canda makna adalah menyampaikan pesan secara menarik. Saya berteman dengan pelukis Budiyana semenjak tahun 1998an ketika kami sama-sama membentuk Kelompok SEPI. Semenjak itulah kami sering terlibat diskusi, bertukar ide-ide tentang seni rupa pada umumnya dan tak jarang berkarya bersama-sama. Mengamati perkembangan lukisan Budiyana secara sekilas seperti menonton dagelan Mataraman. Lukisan yang baru selalu segar dan ada unsur-unsur kelucuannya.
Lucu, segar, dan menarik. Itulah kesan yang selalu muncul dari lukisan Budiyana. Apakah berhenti pada lucu dan menarik saja? Tentu saja tidak. Dalam kelucuan itu selalu tersimpan makna sebuah pesan yang ingin disampaikan oleh Budiyana kepada penikmat karyanya. Misalnya salah satu lukisan yang dibuat Budiyana pada tahun 2000an berjudul ‘Foto Bareng van Gogh’.  Lukisan ini menggambarkan orang-orang berbadan tambun berpakaian Jawa khas lukisan Budiyana sedang berdiri berjajar berfoto dengan Vicent van Gogh pelukis legendaries Belanda. Orang-orang ber-blangkon dan bersarung berfoto bareng van Gogh dengan telinga terbalut dan merokok pipa.
Orang yang melihat lukisan ini biasanya akan senyum-senyum atau tertawa ngakak. Tetapi kalau kita mau berhenti sejenak di depan lukisan ini dan mengupas bungkus candanya, mungkin kita akan menemukan sebuah makna. Mungkin sebuah refleksi atau bahkan sebuah kritik terhadap diri pelukis sendiri atau bahkan pada senirupa Indonesia secara keseluruhan. Bisakah orang Jawa berfoto bejajar dengan van Gogh? Bisakah seniman Indonesia berdiri sejajar dengan seniman Barat? Bisakah seniman Indonesia menggali ke-indonesia-annya sendiri dan sejajar dengan seniman dari seluruh dunia? Ataukah kita hanya akan selalu mengimpor, mengekor budaya dari Negara lain?

Kedua, canda makna adalah sebuah kritik tanpa konflik. Akhir-akhir ini kita mendengar, melihat, dan membaca tentang terjadinya banyak konflik yang tak jarang memakan korban jiwa. Mengapa konflik ini terjadi? Salah satu penyebabnya saya kira adalah perbedaan. Sebuah kelompok masyarakat memberikan saran kepada kelompok yang lain yang mempunyai pendapat berbeda. Namun saran tersebut disampaikan bukan lagi dengan kata-kata namun dengan tindak kekerasan. Apakah sarannya sampai? Saya kira tidak.
Dengan guyon maton, kritikan dan saran bisa disampaikan dengan segar dan halus. Dengan kesegaran dan kehalusan justru biasanya isi pesan akan diterima. Di sinilah saya kira salah satu keunggulan Budiyana karena dia bisa membalut gejala-gejala sosial yang ada dalam masyarakat dengan sebuah canda.
Ketiga, guyon maton ala Budiyana ini memang penuh simbol. Sesudah tersenyum-senyum dengan candanya di permukaan, kita harus menyelam ke dalam mencoba mengurai simbol yang dipakai supaya bisa menemukan maknanya. Kebanyakan tema lukisan Budiyana adalah tema keluarga atau kejadian sosial sebuah masyarakat, yang diwakili oleh masyarakat Jawa. Namun pesan yang disampaikan oleh lukisan-lukisan tersebut tidak hanya terbatas pada masyarakat Jawa tetapi juga tentang masyarakat etnis lain di Indonesia yang budayanya terpinggirkan oleh budaya global. Lukisan-lukisan Budiyana tak jarang adalah catatan sejarah (dengan huruf ‘s’ kecil) tentang kepunahan tradisi yang ada dalam masyarakat Jawa dan tentu saja juga terjadi pada tradisi masyarakat etnis lain.
Lagi-lagi makna terdalam dari canda ini secara keseluruhan adalah: Akankah tradisi atau kebudayaan Jawa (dan etnis lain) mengglobal menjadi Jawawood seperti halnya Bollywood dan Hollywood? Ataukah akan menjadi punah seperti tanaman Jawawut?
Selamat menikmati canda makna Budiyana sambil tersenyum-senyum. Tetapi jangan lupa menyelam lebih dalam supaya Anda berjumpa dengan maknanya. Pameran akan dibuka pada hari Jumat, 2 November 2012, Jam 19.00 di BENTARA BUDAYA YOGYAKARTA, Jl. Suroto 2 Kotabaru Yogyakarta. Pameran akan berlangsung hingga 11 November 2012.

Thursday, August 25, 2011

Cheng Shui Fine Art Exhibition

Cheng Shui exhibition was cooperation between the members of Kelompok SEPI and artists from around Surabaya, East Java. It was held for one week starting from July 15 – 21, 2011 at the Gallery of Surabaya Art Council.

The exhibition was officially opened by Mr. Sabrot D. Malioboro, the director of Surabaya Art Council. Thirty four artists participated in the exhibition. Art performance by Yundhi Pra and poetry reading by Mac Guyoon and Greg initiated the opening ceremony.










Pameran ini adalah hasil kerja bareng Kelompok SEPI dan para perupa dari Surabaya. Pameran dengan tajuk Cheng Shui ini dilaksanakan di gedung Dewan Kesenian Surabaya selama seminggu mulai tanggal 15 – 21 Juli 2011.

Pameran dibuka oleh Kepala Dewan Kesenian Surabaya, Bapak Sabrot D. Malioboro. Pameran diikuti oleh 34 perupa anggota Kelompok Sepi dan juga seniman dari Surabaya. Art performance oleh Yundhi Pra dan pembacaan puisi oleh Mac Guyoon dan Greg memeriahkan pembukaan pameran ini.

Artipak Exhibition






Artipak which consists of two words, English word “art” and Javanese word “tipak” which means trail, track, or mark was the theme of the exhibition. It sounds like artifact in English. Indeed, the exhibition was a response to an artifact, Borobudur which is the biggest Buddhist temple in the world. The artists tried to create an artifact that will contribute to the development of art in Indonesia. The exhibition was held at Limanjawi Art House which is located near Borobudur Temple.

The exhibition was opened by Drs. Susilo also known as Den Bagus Ngarso, a well known comedian, performer, and teacher. Art-performance by artists from Central Java was also part of the opening ceremony. Twenty artists from Jogjakarta and Central Java participating in the exhibition which was opened for public from Februari 19 – 28, 2011.

------------------------

Artipak yang terdiri dari dua kata, kata “art” dari Bahasa Inggris dan kata “tipak” dari bahasa Jawa yang berarti tapak, jejak, atau tanda adalah tema pameran ini. Memang terdengar seperti kata ‘artifact’ dalam bahasa Inggris. Sesungguhnya pameran ini memang merupakan sebuah tanggapan atas sebuah artefak yang berupa candi Budha terbesar di dunia, Borobudur. Para perupa mencoba membuat sebuah karya seni yang akan menjadi artefak perkembangan seni rupa di Indonesia. Pameran ini di selenggarakan di Limanjawi Art House yang terletak di dekat Candi Borobudur.

Pameran ini dibuka oleh Drs.
Susilo yang juga dikenal sebagai Den Baguse Ngarso yang seorang pelawak, dramawan, dan guru. Pembukaan juga dimeriahkan dengan Art-performance dari

para perupa Jawa Tengah. Sekitar 20 perupa dari Jogjakarta dan Jawa Tengah berpartisipasi dalam pameran yang berlangsung dari tanggal 19 – 28 Februari 2011.





Thursday, February 03, 2011

When Artists Meet Writers: Canting vs SEPI


Proses kreatif dan kumpul-kumpul biasanya berhubungan erat. Dalam kumpul-kumpul orang berdiskusi dan muncul ide-ide kreatif. Sore ini (10 Januari 2011, jam 4 – 11) Kompasioner Jogja yang tergabing dalam Canting kumpul-kumpul dengan beberapa perupa Kelompok SEPI di Studio MpatArt di Jl. I Dewa Nyoman Oka no 4A Kotabaru, Jogjakarta.

Setidaknya ada dua persamaan yang saya tangkap dari dua kelompok ini. Yang pertama adalah kreatifitas dan proses kreatif, perupa dan penulis sama-sama dituntut mempunyai kreatifitas yang tinggi untuk menghasilkan karya tulisan ataupun karya senirupa. Akanlah sangat menarik mengobrolkan proses kreatif dalam berkesenian dan dalam menulis. Samakah proses kreatif seorang perupa dan seorang penulis?




Persamaan yang kedua adalah kedua kelompok ini sama-sama mempunyai keprihatinan terhadap sesama yang kurang beruntung. Teman-teman Kompasioner Jogja mempunyai proyek membuat sebuah perpustakaan untuk anak-anak di desa terpencil di bagian selatan Jogja. Sekarang mereka sedang menggalang dukungan untuk membangun Studio Biru dan membuat program Seribu Burung Kertas. Kelompok SEPI juga sering terlibat dengan kegiatan serupa misalnya Trauma Healing untuk anak-anak korban bencana serta berbagai pelatihan yang berhubungan dengan seni rupa bagi masyarakat yang terpinggirkan.

Kelompok SEPI menyerahkan bantuan berupa buku, alat tulis dan gambar untuk kegiatan Canting di Sekolah Mbrosot.

Obrolan berlangsung serius namun penuh canda. Banyak ide-ide yang bermunculun tentang kemungkinan kerjasama antara dua kelompok ini. Semoga akan segera terealisir.











Trauma Healing for Children around Merapi


Kelompok Sepi Kembali melakukan sebuah program trauma healing bagi anak-anak korban bencana. Kegiatan kali ini adalah dengan menggambar bersama dan pembagian alat tulis dan alat gambar bagi anak-anak korban letusan Gunung Merapi di pengungsian-pengungsian Seyegan dan Muntilan. Kegiatan ini diharapkan mampu digunakan sebagai ajang menuangkan segala beban psikologis anak-anak korban bencana Merapi tersebut dalam bentuk gambar. Dengan demikian kesehatan jiwa anak-anak yang tertekan akibat bencana ini terjaga.



Kegiatan ini juga bekerjasama dengan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogykarta. Para mahasiswa Jurusan Sastra Inggris memberikan hiburan bagi anak-anak di pengungsian-pengungsian tersebut berupa pertunjukan panggung boneka.

Tuesday, November 16, 2010

Art for Eruption Victims at LUC [nov. 15/22/23, 2010]


October 26, 2010 was one of the most difficult moments for us, five LUC students from Yogyakarta, Indonesia (Ouda T. Ena*, Markus Budiraharjo, Pius Prihatin, Chatarina Wigati, and Catur Rismiati). On that particular day, and the following days onward, peaking on November 5, massive volcanic ash and tons of sulphuric materials were thrown out from the most active volcano in Indonesia, Mt Merapi, with the death toll reaching more than 240 lives and more than 350,000 people stranded in makeshift camps.

Among those stranded are our relatives, colleagues, students, and friends.

We've learned so much from our earlier encounter with the 2006 earthquake that claimed more than 6,000 lives. Alleviating the burdens of others proves to be a healthy way for us to cope with our fear, our feeling of useless and helpless. So, to start with, we are to set an initiative by selling paintings and other Indonesian stuff(2 batik t-shirts, 1 puppet, 3 playing cards, key rings, etc.). The money raised will be sent to our University back home to help the existing programs such as providing food, shelter, and trauma healing for children.

Please visit us at The Terry Student Center, 26 E Pearson (across from Corboy Law Center) on Monday 22 and Tuesday 23 November (10 a.m. – 9 p.m.).



More paintings will be exhibited and uploaded.
All the drawings and paintings are original, painted by Ouda.
The souvenirs are donated by Wigati, Catur, Markus, and Pius



To donate or purchase the paintings and other stuff please contact one of the LUC students:

Markus: mbudiraharjo1@gmail.com (773 7478072)

Ouda: oena@luc.edu (773 2907320)

Pius: pius.prihatin@yahoo.com (773 4706546)

Wigati: cwigati@gmail.com (773 6971967)

Catur: emanuelacatur@yahoo.com

------------------------------------------------------------------------

(*Ouda T. Ena is a member of Kelompok SEPI. With Dom and Sue Dwyer, and WILTA, Kelompok SEPI organized an exhibition in Australia to raise money for a trauma healing program for children when the earth quake flattened southern parts of Yogyakarta in 2006. You can learn about the event here: http://kelompoksepi.blogspot.com/2006_06_01_archive.html or http://kelompoksepi.blogspot.com/2006/08/earthquake-in-childrens-eyes.html )

Art for Eruption Victims [nov. 13, 2010]

"Since its initial eruptions on October 25th, Indonesia's Mount Merapi continues to spew hot gases and ash as far as 5,000 meters into the atmosphere, wreaking havoc on surrounding villages and farms, and disrupting air travel - and more than 140 people have been killed by the eruptions over the past two weeks. Hundreds of thousands of residents have been displaced, many of them living in temporary shelters". (http://www.boston.com/bigpicture/2010/11/mount_merapis_eruptions.html)

To help the displaced people Kelompok SEPI and other groups organized a fund raising activity

by conducting mural painting , poetry reading, and music and dance performance in Yogyakarta.


Hadiprana Gallery [july 25 - august 15, 2010]


Some of Kelompok SEPI members exhibited their works at Hadiprana Gallery, Jakarta. The title of the exhibition was "Behind the Funny Make Up" exploring the ideas around the lives of "clowns".

11th Anniversary [dec. 2009]

Bulan Desember tahun 2009 kelompok SEPI merayakan ulang tahun yang kesebelas. Kebersamaan selama 11 tahun ini ditandai dengan doa bersama dan pameran karya-karya kecil di Studio 4Art.