Thursday, May 07, 2009

MeMangun Exhibition: Curatorial Notes

"MeMangun" Art exhibition is a collaborative project of Kelompok SEPI and YPR. It was officially opened by Dr. Darwis Khudori, an Indonesian architect and writer who teaches in Paris, France.

This exhibition is to commemorate 80 years of Father Mangun Wijaya, an architect, priest, novelist, writer, and social activist. The painting can be categorized into three: Father Mangun's images; people he worked with; and abstraction of his ideas.

Kelompok SEPI bekerjasama dengan Yayasan Pondok Rakyat (YPR) akan menyelenggarakan pameran senirupa dengan judul “MeMangun”. Pameran ini diselenggarakan dalam rangka memperingati 80 tahun Romo Mangun dan sekaligus merupakan bagian dari rangkaian acara dalam rangka memperingati 55 tahun Konferensi Asia Afrika. Pameran akan berlangsung dari tanggal 2 – 8 Mei 2009 di Karta Pustaka Yogyakarta. Pameran akan dibuka oleh Darwis Khudori pemerhati masalah kebudayaan dan social yang telah lama tinggal dan mengajar di Paris, Perancis. Pembukaan pameran ini juga kan dimeriahkan oleh penampilan kelompok Wiridan Sarikraman.

Tema dari karya-karya yang dipamerkan berkisar tentang Romo Mangun yang dikenal sebagai penulis, aktivis, arsitek, dan rohaniawan serta tentang kecemasan akibat globalisasi.

Karya Yundhi Pra misalnya, menggambarkan Romo Mangun sebagai sosok Robin Hood dengan topi hijaunya yang khas. Ada kesamaan memang antara Robin Hood dan Romo Mangun yaitu pada pembelaannya atau keberpihakkannya kepada kaum miskin tertindas.

Agus Nuryanto bertutur tentang cerita yang serupa tetapi dengan simbolisasi yang berbeda. Agus menggambarkan Romo Mangun sebagai tokoh Semar. Semar dalam lukisannya digambarkan berkacamata dan berkalung salib, sebagai simbol sinkritisme berbagai kebudayaan dalam diri seorang Semar, dewa yang mengejawantah menjadi manusia, bahkan rakyat jelata. Perupa lain yang menggunakan wayang sebagai gambaran idenya adalah Sigit Raharjo. Selain wayang sebagai simbol, benda keseharian terkinipun dipakai, seperti kacang pada karya Dwi Haryanta, dan kursi pada karya Surachman.
Sedangkan Ouda Teda Ena menyoroti sosok Mangun dari karya-karya tulisnya. Selain novel Romo Mangun juga menulis esai-esai politik. Mangun menghawatirkan keutuhan Indonesia apabila tidak ada otonomi yang lebih luas bagi daerah-daerah. Pada tahun 1998 setelah Suharto lengser, salah satu buku Romo Mangun terbit dengan usulan Indonesia Serikat paling tidak nanti pada tahun 2045 supaya Indonesia tetap utuh sebagai satu bangsa.

Karya-karya lain menggambarkan sosok Romo Mangun dengan berbagai simbolisasi, seperti karya Kadafi, Martono, Ivan, Greg Susanto, Jumadi, dan Rusli. Beberapa karya menampilkan masyarakat terpinggirkan yang kerap dibela oleh Romo Mangun. Masyarakat terpinggirkan ini diwakili oleh karya-karya Budiyana, Sigit Handari, Bintara, Bambang Lestari, Wahyu p Bagio, dan Nurbaito. Sedangkan Cindy Kunto Widy, JS Murdowo, dan greg Sindana menerjemahkan ide-ide mereka kedalam abstraksi bentuk-bentuk dan warna-warna.

Kecemasan global dan efek globalisasi yang selayaknya menjadi concern Negara-negara Asia Afrika yang tahun ini memperingati KAA ke- 55 tercermin dalam karya Bambang SS yang menggambarkan bola dunia yang meleleh. Kecemasan akibat globalisasi juga tergambarkan dalam karya Yun Suroso dan Alex Landung. Yun Suroso mengemukakan bahwa kehidupan tradisional yang nyaman yang dilambangkan oleh sepeda onthel hanya tinggal menjadi ‘upet’, lentera kecil pengusir nyamuk. Demikian pula Alex Landung menggambarkan kecemasan yang mendalam tentang proses kebudayaan yang tidak tuntas dengan sepatu batiknya yang belum selesai.
Pameran bertema “MeMangun” yang dimaknai sebagai memperindah dan juga mengenang Mangun ini memberi inspirasi kepada para pecinta seni untuk mengenang karya-karya Romo Mangun dan juga peristiwa Konferensi Asia Afrika sehingga mempunyai semangat KKA dan semangat Romo Mangun.

Saturday, May 02, 2009

Working with Code River Community



Kelompok SEPI works collaboratively with YPR to help Code river bank community set up a community center. The community center functions as community meeting place, library, and a remembrance site for the late Father Mangun who had dedicated his life for magirnalized communities. Kelompok SEPI designs mugs, t-shirts, and pin to sell for maintanant of the community center.





Kelompok SEPI kembali bekerjasama dengan YPR bekerja untuk masyarakat tepian sungai Code, Yogyakarta. Kegiatannya meliputi memasang sketsa tentang hunian tepi Code di Balai Kampung. Kegiatan lain adalah pembuatan design kaos, pin, dan mug yang nantinya akan dijual sehingga ada pemasukan bagi perawatan balai kampung yang berfungsi sebagai ruang pertemuan, perpustakaan, dan semacam tempat pepeling bagi Romo Mangun.

Thursday, April 02, 2009

Exhibition: "My Art Doesn't Stop for Long"


Pameran dan melukis bersama serta kegiatan lain seperti musik, pentas tari, dan bentuk kesenian lain diadakan untuk mengakhiri tahun 2008 dan memulai tahun 2009 di Taman Budaya Yogyakarta.
Orasi budaya oleh sineas Garin Nugroho menandai pergantian tahun 2008 ke 2009. Budiyana dan Ouda Teda Ena dari Kelompok Sepi ikut melukis bersama dan memamerkan karya mereka. Pameran berlangsung pada tanggal 24 Januari samapai 5 Februari 2009.

Tuesday, March 10, 2009

Mural Festival




Beberapa anggota Kelompok SEPI terlibat dalam festival mural yang diselenggarakan oleh Kampung Balapan Yogyakarta bekerjasama dengan Jogja Mural Forum. Festival ini bertujuan mengundang partisipasi warga kampung untuk menghiasi kampung mereka. Gerakan ini adalah semacam participatory art project. Kegiatan ini dilakukan selama beberapa hari mulai tanggal 18 Desember 2008.

Preparing for New Year Exhibition

Atas prakarsa beberapa perupa di Yogyakarta, akan diadakan kegiatan yang 'nyeni' di malam pergantian tahun 2008 ke tahun 2009. Beberapa kali pertemuan diadakan dan pertemuan puncak diadakan di rumah Mas Nasirun di Bayeman, Jln. Wates, Yogyakarta. Pertemuan dihadiri oleh para perupa, kritikus seni, dan wartawan. Setelah berembug sambil diskusi dan "gojeg kere" Mas Nasirun mengusulkan tajuk dari kegiatan itu: "Seniku Tak Berhenti Lama" yang merupakan plesetan dari judul lukisan Pak Pekik "Keretaku Tak Berhenti Lama" yang juga sebenarnya adalah cuplikan dari sebuah lagu anak-anak. Tempatnya disepakati di Taman Budaya Yogyakarta. Acaranya berbagai bentuk kesenian dengan format yang bebas dan user friendly.Setelah semua disepakati dilanjutkan dengan acara spontan melukis bersama dengan kanvas dari Nasirun dan Pak Djoko Pekik jadi model.

Saturday, March 07, 2009

Rereading Driyarkara Exhibition

Tiga orang anggota Kelompok SEPI terlibat dalam pameran "Membaca Ulang Driyarkara".
Driyarkara adalah pendiri Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Untuk memperingati Dies Universitas Sanata Dharma diadakan pameran yang melibatkan kurang lebih 40 seniman dari berbagai generasi. Karya yang dipamerkan berupa lukisan dan instalasi. Perupa senior yang terlibat diantaranya adalah Djoko Pekik, Sun Ardi, Subroto, M. Dwi Marianto dan Suatmadji. Seniman dari generasi yang lebih muda diantaranya Samuel Indratma, Yuswantoro Adi, Ong Hariwahyu, Bambang Heras, Hari Budiono, Agung Kurniawan, Arahmaiani, Tita Rubi, Agus Suwage, Fajar Santoaji, Yundhi Pra, Budiyana, Ouda Teda Ena, Jogja Mural Forum dan perupa USD serta perupa lainnya.
Pameran berlangsung dari tanggal 17 Desember 2008 sampai 17 Januari 2009. Pameran ini juga dibarengi dengan dua kali diskusi. Beberapa karya dipinjamkan untuk dipajang di USD selama satu semester atau satu tahun. Beberapa karya lain dihibahkan dan dipajang permanen di USD.

Diskusi dua hari tentang "Driyarkara dan Senirupa"; serta "Driyarkara dan Ruang Publik" menyertai pameran ini.

Thursday, February 26, 2009

*010# Exhibition: Opening Reception


Pada tanggal 3 Agustus 2007 pameran memperingati ulang tahun ke 10 Kelompok SEPI di buka oleh Ibu Puri Hadiprana dari Hadiprana Galeri Jakarta. Dalam pidato pembukaannya Ibu Puri menyampaikan kekagumannya karena sebuah kelompok yang beranggotakan banyak orang dari berbagai latar belakang bisa bertahan cukup lama. Pembukaan ini juga dimeriahkan dengan hiburan musik campursari dari Musik Balok Gosong.
Pembukaan ditandai dengan pemotongan tumpeng oleh Ibu Puri yang selanjutnya diserahkan kepada Ibu Cindy K Widyastuti salah satu pelukis wanita di Kelompok SEPI, serta penyerahan kenang-kenangan dari Budiyana.
Hadir dalam pembukaan antara lain pelukis senior Djoko Pekik, pengamat seni seperti Rm Budi Subanar, Darwis Khudori serta Rain Rosidi, serta para perupa dan pecinta seni.

*010# Exhibition: Preparation

Pameran dalam rangka ulang tahun ke 10 kelompok SEPI ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam berbagai diskusi. Akhirnya dipilih tema "*010#" (baca: bintang sepuluh pagar). Tema ini menggambarkan perubahan yang telah terjadi selama sepuluh tahun terakhir ini baik di Kelompok SEPI maupun di dunia. Penulis dan kurator akhirnya dipilih Ade Tanesia dan Agus Suwignyo. Kuratorial keliling juga dilakukan oleh lima orang kurator internal yaitu: Kadafi, Dwi Haryanto, S Handari, Zipit Supomo, dan Budiyana. Kelima kurator internal ini mengunjungi studio-studio perupa SEPI, berdikusi dengan para perupa untuk mengoptimalkan karya-karya yang akan dipamerkan.

Kelompok SEPI in Jakarta Art Award

Dua orang anggota Kelompok SEPI menjadi finalis Jakarta Art Award tahun 2008. Yundhi Pra masuk sebagai finalis dengan lukisannya yang berjudul "Freedom to Fly" dan Dwi Haryanto dengan lukisannya yang menggambarkan menyempitnya lahan hijau dan langit biru juga masuk sebagai finalis.
Mereka masuk dalam kelompok 82 finalis menyingkirkan 3456 lukisan lain yang dikirim oleh 941 pelukis. Karya para finalis ini dipamerkan di Jakarta dari 25 Juli - 15 Agustus 2008.
Berita terkait kompetisi dan pameran JAA bisa dibaca di Kompas, The Jakarta Post, dan Media Indonesia.