Thursday, February 03, 2011

When Artists Meet Writers: Canting vs SEPI


Proses kreatif dan kumpul-kumpul biasanya berhubungan erat. Dalam kumpul-kumpul orang berdiskusi dan muncul ide-ide kreatif. Sore ini (10 Januari 2011, jam 4 – 11) Kompasioner Jogja yang tergabing dalam Canting kumpul-kumpul dengan beberapa perupa Kelompok SEPI di Studio MpatArt di Jl. I Dewa Nyoman Oka no 4A Kotabaru, Jogjakarta.

Setidaknya ada dua persamaan yang saya tangkap dari dua kelompok ini. Yang pertama adalah kreatifitas dan proses kreatif, perupa dan penulis sama-sama dituntut mempunyai kreatifitas yang tinggi untuk menghasilkan karya tulisan ataupun karya senirupa. Akanlah sangat menarik mengobrolkan proses kreatif dalam berkesenian dan dalam menulis. Samakah proses kreatif seorang perupa dan seorang penulis?




Persamaan yang kedua adalah kedua kelompok ini sama-sama mempunyai keprihatinan terhadap sesama yang kurang beruntung. Teman-teman Kompasioner Jogja mempunyai proyek membuat sebuah perpustakaan untuk anak-anak di desa terpencil di bagian selatan Jogja. Sekarang mereka sedang menggalang dukungan untuk membangun Studio Biru dan membuat program Seribu Burung Kertas. Kelompok SEPI juga sering terlibat dengan kegiatan serupa misalnya Trauma Healing untuk anak-anak korban bencana serta berbagai pelatihan yang berhubungan dengan seni rupa bagi masyarakat yang terpinggirkan.

Kelompok SEPI menyerahkan bantuan berupa buku, alat tulis dan gambar untuk kegiatan Canting di Sekolah Mbrosot.

Obrolan berlangsung serius namun penuh canda. Banyak ide-ide yang bermunculun tentang kemungkinan kerjasama antara dua kelompok ini. Semoga akan segera terealisir.











Trauma Healing for Children around Merapi


Kelompok Sepi Kembali melakukan sebuah program trauma healing bagi anak-anak korban bencana. Kegiatan kali ini adalah dengan menggambar bersama dan pembagian alat tulis dan alat gambar bagi anak-anak korban letusan Gunung Merapi di pengungsian-pengungsian Seyegan dan Muntilan. Kegiatan ini diharapkan mampu digunakan sebagai ajang menuangkan segala beban psikologis anak-anak korban bencana Merapi tersebut dalam bentuk gambar. Dengan demikian kesehatan jiwa anak-anak yang tertekan akibat bencana ini terjaga.



Kegiatan ini juga bekerjasama dengan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogykarta. Para mahasiswa Jurusan Sastra Inggris memberikan hiburan bagi anak-anak di pengungsian-pengungsian tersebut berupa pertunjukan panggung boneka.

Tuesday, November 16, 2010

Art for Eruption Victims at LUC [nov. 15/22/23, 2010]


October 26, 2010 was one of the most difficult moments for us, five LUC students from Yogyakarta, Indonesia (Ouda T. Ena*, Markus Budiraharjo, Pius Prihatin, Chatarina Wigati, and Catur Rismiati). On that particular day, and the following days onward, peaking on November 5, massive volcanic ash and tons of sulphuric materials were thrown out from the most active volcano in Indonesia, Mt Merapi, with the death toll reaching more than 240 lives and more than 350,000 people stranded in makeshift camps.

Among those stranded are our relatives, colleagues, students, and friends.

We've learned so much from our earlier encounter with the 2006 earthquake that claimed more than 6,000 lives. Alleviating the burdens of others proves to be a healthy way for us to cope with our fear, our feeling of useless and helpless. So, to start with, we are to set an initiative by selling paintings and other Indonesian stuff(2 batik t-shirts, 1 puppet, 3 playing cards, key rings, etc.). The money raised will be sent to our University back home to help the existing programs such as providing food, shelter, and trauma healing for children.

Please visit us at The Terry Student Center, 26 E Pearson (across from Corboy Law Center) on Monday 22 and Tuesday 23 November (10 a.m. – 9 p.m.).



More paintings will be exhibited and uploaded.
All the drawings and paintings are original, painted by Ouda.
The souvenirs are donated by Wigati, Catur, Markus, and Pius



To donate or purchase the paintings and other stuff please contact one of the LUC students:

Markus: mbudiraharjo1@gmail.com (773 7478072)

Ouda: oena@luc.edu (773 2907320)

Pius: pius.prihatin@yahoo.com (773 4706546)

Wigati: cwigati@gmail.com (773 6971967)

Catur: emanuelacatur@yahoo.com

------------------------------------------------------------------------

(*Ouda T. Ena is a member of Kelompok SEPI. With Dom and Sue Dwyer, and WILTA, Kelompok SEPI organized an exhibition in Australia to raise money for a trauma healing program for children when the earth quake flattened southern parts of Yogyakarta in 2006. You can learn about the event here: http://kelompoksepi.blogspot.com/2006_06_01_archive.html or http://kelompoksepi.blogspot.com/2006/08/earthquake-in-childrens-eyes.html )

Art for Eruption Victims [nov. 13, 2010]

"Since its initial eruptions on October 25th, Indonesia's Mount Merapi continues to spew hot gases and ash as far as 5,000 meters into the atmosphere, wreaking havoc on surrounding villages and farms, and disrupting air travel - and more than 140 people have been killed by the eruptions over the past two weeks. Hundreds of thousands of residents have been displaced, many of them living in temporary shelters". (http://www.boston.com/bigpicture/2010/11/mount_merapis_eruptions.html)

To help the displaced people Kelompok SEPI and other groups organized a fund raising activity

by conducting mural painting , poetry reading, and music and dance performance in Yogyakarta.


Hadiprana Gallery [july 25 - august 15, 2010]


Some of Kelompok SEPI members exhibited their works at Hadiprana Gallery, Jakarta. The title of the exhibition was "Behind the Funny Make Up" exploring the ideas around the lives of "clowns".

11th Anniversary [dec. 2009]

Bulan Desember tahun 2009 kelompok SEPI merayakan ulang tahun yang kesebelas. Kebersamaan selama 11 tahun ini ditandai dengan doa bersama dan pameran karya-karya kecil di Studio 4Art.

Friends of the Studio



Friends are dropping by at Studio 4art where members of Kelompok SEPI hang and work. Some just drop by, others discuss current issues in art, and some end up creating art works. These friendships have been very productive and positive.Beberapa orang sering mampir ke Studio 4art tempat anggota kelompok SEPI sering kumpul-kumpul. Mereka sekedar bertandang, kadang diskusi, dan kadang bahkan ikut melukis. Pertemanan dan diskusi ini tak jarang menghasilkan banyak ide-ide berkesenian.


Thursday, May 07, 2009

MeMangun Exhibition: Curatorial Notes

"MeMangun" Art exhibition is a collaborative project of Kelompok SEPI and YPR. It was officially opened by Dr. Darwis Khudori, an Indonesian architect and writer who teaches in Paris, France.

This exhibition is to commemorate 80 years of Father Mangun Wijaya, an architect, priest, novelist, writer, and social activist. The painting can be categorized into three: Father Mangun's images; people he worked with; and abstraction of his ideas.

Kelompok SEPI bekerjasama dengan Yayasan Pondok Rakyat (YPR) akan menyelenggarakan pameran senirupa dengan judul “MeMangun”. Pameran ini diselenggarakan dalam rangka memperingati 80 tahun Romo Mangun dan sekaligus merupakan bagian dari rangkaian acara dalam rangka memperingati 55 tahun Konferensi Asia Afrika. Pameran akan berlangsung dari tanggal 2 – 8 Mei 2009 di Karta Pustaka Yogyakarta. Pameran akan dibuka oleh Darwis Khudori pemerhati masalah kebudayaan dan social yang telah lama tinggal dan mengajar di Paris, Perancis. Pembukaan pameran ini juga kan dimeriahkan oleh penampilan kelompok Wiridan Sarikraman.

Tema dari karya-karya yang dipamerkan berkisar tentang Romo Mangun yang dikenal sebagai penulis, aktivis, arsitek, dan rohaniawan serta tentang kecemasan akibat globalisasi.

Karya Yundhi Pra misalnya, menggambarkan Romo Mangun sebagai sosok Robin Hood dengan topi hijaunya yang khas. Ada kesamaan memang antara Robin Hood dan Romo Mangun yaitu pada pembelaannya atau keberpihakkannya kepada kaum miskin tertindas.

Agus Nuryanto bertutur tentang cerita yang serupa tetapi dengan simbolisasi yang berbeda. Agus menggambarkan Romo Mangun sebagai tokoh Semar. Semar dalam lukisannya digambarkan berkacamata dan berkalung salib, sebagai simbol sinkritisme berbagai kebudayaan dalam diri seorang Semar, dewa yang mengejawantah menjadi manusia, bahkan rakyat jelata. Perupa lain yang menggunakan wayang sebagai gambaran idenya adalah Sigit Raharjo. Selain wayang sebagai simbol, benda keseharian terkinipun dipakai, seperti kacang pada karya Dwi Haryanta, dan kursi pada karya Surachman.
Sedangkan Ouda Teda Ena menyoroti sosok Mangun dari karya-karya tulisnya. Selain novel Romo Mangun juga menulis esai-esai politik. Mangun menghawatirkan keutuhan Indonesia apabila tidak ada otonomi yang lebih luas bagi daerah-daerah. Pada tahun 1998 setelah Suharto lengser, salah satu buku Romo Mangun terbit dengan usulan Indonesia Serikat paling tidak nanti pada tahun 2045 supaya Indonesia tetap utuh sebagai satu bangsa.

Karya-karya lain menggambarkan sosok Romo Mangun dengan berbagai simbolisasi, seperti karya Kadafi, Martono, Ivan, Greg Susanto, Jumadi, dan Rusli. Beberapa karya menampilkan masyarakat terpinggirkan yang kerap dibela oleh Romo Mangun. Masyarakat terpinggirkan ini diwakili oleh karya-karya Budiyana, Sigit Handari, Bintara, Bambang Lestari, Wahyu p Bagio, dan Nurbaito. Sedangkan Cindy Kunto Widy, JS Murdowo, dan greg Sindana menerjemahkan ide-ide mereka kedalam abstraksi bentuk-bentuk dan warna-warna.

Kecemasan global dan efek globalisasi yang selayaknya menjadi concern Negara-negara Asia Afrika yang tahun ini memperingati KAA ke- 55 tercermin dalam karya Bambang SS yang menggambarkan bola dunia yang meleleh. Kecemasan akibat globalisasi juga tergambarkan dalam karya Yun Suroso dan Alex Landung. Yun Suroso mengemukakan bahwa kehidupan tradisional yang nyaman yang dilambangkan oleh sepeda onthel hanya tinggal menjadi ‘upet’, lentera kecil pengusir nyamuk. Demikian pula Alex Landung menggambarkan kecemasan yang mendalam tentang proses kebudayaan yang tidak tuntas dengan sepatu batiknya yang belum selesai.
Pameran bertema “MeMangun” yang dimaknai sebagai memperindah dan juga mengenang Mangun ini memberi inspirasi kepada para pecinta seni untuk mengenang karya-karya Romo Mangun dan juga peristiwa Konferensi Asia Afrika sehingga mempunyai semangat KKA dan semangat Romo Mangun.

Saturday, May 02, 2009

Working with Code River Community



Kelompok SEPI works collaboratively with YPR to help Code river bank community set up a community center. The community center functions as community meeting place, library, and a remembrance site for the late Father Mangun who had dedicated his life for magirnalized communities. Kelompok SEPI designs mugs, t-shirts, and pin to sell for maintanant of the community center.





Kelompok SEPI kembali bekerjasama dengan YPR bekerja untuk masyarakat tepian sungai Code, Yogyakarta. Kegiatannya meliputi memasang sketsa tentang hunian tepi Code di Balai Kampung. Kegiatan lain adalah pembuatan design kaos, pin, dan mug yang nantinya akan dijual sehingga ada pemasukan bagi perawatan balai kampung yang berfungsi sebagai ruang pertemuan, perpustakaan, dan semacam tempat pepeling bagi Romo Mangun.

Thursday, April 02, 2009

Exhibition: "My Art Doesn't Stop for Long"


Pameran dan melukis bersama serta kegiatan lain seperti musik, pentas tari, dan bentuk kesenian lain diadakan untuk mengakhiri tahun 2008 dan memulai tahun 2009 di Taman Budaya Yogyakarta.
Orasi budaya oleh sineas Garin Nugroho menandai pergantian tahun 2008 ke 2009. Budiyana dan Ouda Teda Ena dari Kelompok Sepi ikut melukis bersama dan memamerkan karya mereka. Pameran berlangsung pada tanggal 24 Januari samapai 5 Februari 2009.