"MeMangun" Art exhibition is a collaborative project of Kelompok SEPI and YPR. It was officially opened by Dr. Darwis Khudori, an Indonesian architect and writer who teaches in Paris, France.
This exhibition is to commemorate 80 years of Father Mangun Wijaya, an architect, priest, novelist, writer, and social activist. The painting can be categorized into three: Father Mangun's images; people he worked with; and abstraction of his ideas.
Kelompok SEPI bekerjasama dengan Yayasan Pondok Rakyat (YPR) akan menyelenggarakan pameran senirupa dengan judul “MeMangun”. Pameran ini diselenggarakan dalam rangka memperingati 80 tahun Romo Mangun dan sekaligus merupakan bagian dari rangkaian acara dalam rangka memperingati 55 tahun Konferensi Asia Afrika. Pameran akan berlangsung dari tanggal 2 – 8 Mei 2009 di Karta Pustaka Yogyakarta. Pameran akan dibuka oleh Darwis Khudori pemerhati masalah kebudayaan dan social yang telah lama tinggal dan mengajar di Paris, Perancis. Pembukaan pameran ini juga kan dimeriahkan oleh penampilan kelompok Wiridan Sarikraman.
Tema dari karya-karya yang dipamerkan berkisar tentang Romo Mangun yang dikenal sebagai penulis, aktivis, arsitek, dan rohaniawan serta tentang kecemasan akibat globalisasi.
Karya Yundhi Pra misalnya, menggambarkan Romo Mangun sebagai sosok Robin Hood dengan topi hijaunya yang khas. Ada kesamaan memang antara Robin Hood dan Romo Mangun yaitu pada pembelaannya atau keberpihakkannya kepada kaum miskin tertindas.
Kelompok SEPI bekerjasama dengan Yayasan Pondok Rakyat (YPR) akan menyelenggarakan pameran senirupa dengan judul “MeMangun”. Pameran ini diselenggarakan dalam rangka memperingati 80 tahun Romo Mangun dan sekaligus merupakan bagian dari rangkaian acara dalam rangka memperingati 55 tahun Konferensi Asia Afrika. Pameran akan berlangsung dari tanggal 2 – 8 Mei 2009 di Karta Pustaka Yogyakarta. Pameran akan dibuka oleh Darwis Khudori pemerhati masalah kebudayaan dan social yang telah lama tinggal dan mengajar di Paris, Perancis. Pembukaan pameran ini juga kan dimeriahkan oleh penampilan kelompok Wiridan Sarikraman.
Tema dari karya-karya yang dipamerkan berkisar tentang Romo Mangun yang dikenal sebagai penulis, aktivis, arsitek, dan rohaniawan serta tentang kecemasan akibat globalisasi.
Karya Yundhi Pra misalnya, menggambarkan Romo Mangun sebagai sosok Robin Hood dengan topi hijaunya yang khas. Ada kesamaan memang antara Robin Hood dan Romo Mangun yaitu pada pembelaannya atau keberpihakkannya kepada kaum miskin tertindas.
Agus Nuryanto bertutur tentang cerita yang serupa tetapi dengan simbolisasi yang berbeda. Agus menggambarkan Romo Mangun sebagai tokoh Semar. Semar dalam lukisannya digambarkan berkacamata dan berkalung salib, sebagai simbol sinkritisme berbagai kebudayaan dalam diri seorang Semar, dewa yang mengejawantah menjadi manusia, bahkan rakyat jelata. Perupa lain yang menggunakan wayang sebagai gambaran idenya adalah Sigit Raharjo. Selain wayang sebagai simbol, benda keseharian terkinipun dipakai, seperti kacang pada karya Dwi Haryanta, dan kursi pada karya Surachman.
Sedangkan Ouda Teda Ena menyoroti sosok Mangun dari karya-karya tulisnya. Selain novel Romo Mangun juga menulis esai-esai politik. Mangun menghawatirkan keutuhan Indonesia apabila tidak ada otonomi yang lebih luas bagi daerah-daerah. Pada tahun 1998 setelah Suharto lengser, salah satu buku Romo Mangun terbit dengan usulan Indonesia Serikat paling tidak nanti pada tahun 2045 supaya Indonesia tetap utuh sebagai satu bangsa.
Karya-karya lain menggambarkan sosok Romo Mangun dengan berbagai simbolisasi, seperti karya Kadafi, Martono, Ivan, Greg Susanto, Jumadi, dan Rusli. Beberapa karya menampilkan masyarakat terpinggirkan yang kerap dibela oleh Romo Mangun. Masyarakat terpinggirkan ini diwakili oleh karya-karya Budiyana, Sigit Handari, Bintara, Bambang Lestari, Wahyu p Bagio, dan Nurbaito. Sedangkan Cindy Kunto Widy, JS Murdowo, dan greg Sindana menerjemahkan ide-ide mereka kedalam abstraksi bentuk-bentuk dan warna-warna.
Kecemasan global dan efek globalisasi yang selayaknya menjadi concern Negara-negara Asia Afrika yang tahun ini memperingati KAA ke- 55 tercermin dalam karya Bambang SS yang menggambarkan bola dunia yang meleleh. Kecemasan akibat globalisasi juga tergambarkan dalam karya Yun Suroso dan Alex Landung. Yun Suroso mengemukakan bahwa kehidupan tradisional yang nyaman yang dilambangkan oleh sepeda onthel hanya tinggal menjadi ‘upet’, lentera kecil pengusir nyamuk. Demikian pula Alex Landung menggambarkan kecemasan yang mendalam tentang proses kebudayaan yang tidak tuntas dengan sepatu batiknya yang belum selesai.
Karya-karya lain menggambarkan sosok Romo Mangun dengan berbagai simbolisasi, seperti karya Kadafi, Martono, Ivan, Greg Susanto, Jumadi, dan Rusli. Beberapa karya menampilkan masyarakat terpinggirkan yang kerap dibela oleh Romo Mangun. Masyarakat terpinggirkan ini diwakili oleh karya-karya Budiyana, Sigit Handari, Bintara, Bambang Lestari, Wahyu p Bagio, dan Nurbaito. Sedangkan Cindy Kunto Widy, JS Murdowo, dan greg Sindana menerjemahkan ide-ide mereka kedalam abstraksi bentuk-bentuk dan warna-warna.
Kecemasan global dan efek globalisasi yang selayaknya menjadi concern Negara-negara Asia Afrika yang tahun ini memperingati KAA ke- 55 tercermin dalam karya Bambang SS yang menggambarkan bola dunia yang meleleh. Kecemasan akibat globalisasi juga tergambarkan dalam karya Yun Suroso dan Alex Landung. Yun Suroso mengemukakan bahwa kehidupan tradisional yang nyaman yang dilambangkan oleh sepeda onthel hanya tinggal menjadi ‘upet’, lentera kecil pengusir nyamuk. Demikian pula Alex Landung menggambarkan kecemasan yang mendalam tentang proses kebudayaan yang tidak tuntas dengan sepatu batiknya yang belum selesai.
2 comments:
sisi lain mangunwijaya
Dari banyak segi dan aneka warna manusia Mangunwijaya, kerjanya dan panggilan hidupnya, barangkali agak kurang tajam disoroti Mangunwijaya dalam ‘Kebermainannya’, Sang Homo Ludens ini. Padahal sejatinya dari ‘kebermainan’ inilah kualitas dan citra kemanusiaan, kemerdekaan dan kesejatian dapat ditelusuri jejaknya.
Romo Mangun menulis di Kedung Ombo 6 Mei 1990 sebagai berikut :
“…. kebermainan manusia sangat erat hubungannya dengan spontanitas, autentisitas, aktualisasi dirinya secara asli menjadi manusia yang seutuh mungkin. Oleh karena itu ia menyangkut dunia dan iklim kemerdekaan manusia, pendewasaan dan penemuan sesuatu yang dihayati sebagai sejati. Bermain mengandung aspek kegembiraan, kelegaan, penikmatan yang intensif, bebas dari kekangan atau kedukaan, berporses emansipatorik; dan itu hanya tercapai dalam alam dan suasana kemerdekaan.
Manusia yang tidak merdeka tidak dapat bermain spontan, lepas, gembira, puas”.
(dari pengantar Mangunwijaya untuk buku Johan Huizinga Homo Ludens : Fungsi dan Hakekat Permainan Dalam Budaya, LP3ES 1990)
Mangun melalui Atik dalam novel Burung-burung Manyar mengungkapkan lebih jauh tentang penghayatan jati diri dan dimensi kualitas kemanusiaan ini yang menurut saya berangkat dari kebermainan sang homo ludens ini…
Silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/03/burung-burung-manyar-mangunwijaya-dalam.html
hello... hapi blogging... have a nice day! just visiting here....
Post a Comment