Menurut penuturan pelukis Budiyana, ide atau pikiran yang mendasari pemberian judul pameran ini adalah sebuah plesetan atau permainan kata untuk member makna yang lucu. Jawawood bisa sebuah plesetan yang berhubungan dengan kata Jawawut jenis biji-bijian semacam padi yang konon menjadi makanan orang-orang yang berdiam di pulau Jawa. Bisa juga Jawawood dihubungkan dengan Hollywood atau Bollywood yang menjadi ikon film sebagai sebuah hasil kebudayaan.
Bagi saya karya-karya Budiyana bukanlah sekedar plesetan. Karya-karya Budiyana lebih sebagai sebuah guyon maton atau canda yang penuh makna. Canda makna adalah sebuah tradisi dalam masyarakat Jawa untuk menyampaikan sebuah pesan penting atau menyampaikan sebuah pengetahuan secara tidak langsung. Pesan yang disampaikan secara tidak langsung dengan bahasa yang berbalut canda ini mempunyai beberapa tujuan. Setidaknya ada tiga tujuan dari sebuah canda makna. Pertama pesan yang berbalut canda akan menjadi menarik dan tidak membosankan. Kedua, pesan yang berupa kritik yang dibalut canda akan menjadi halus dan segar sehingga tidak akan menimbulkan konflik bagi yang mengritik dan yang dikritik. Ketiga, pesan yang berisi pembelajaran atau pengetahuan yang berbalut canda akan penuh dengan simbol. Pesan yang disampaikan tidak mentah sehingga penerima pesan atau pembelajar harus mengupas simbol-simbol yang ada supaya bisa memahami maknanya. Proses pengupasan makna ini adalah sebuah proses pembelajaran yang tentu tidak mudah. Pembelajar harus berusaha keras mengupas balutan candanya untuk mendapatkan inti dari sebuah pesan tersebut. Ini adalah sebuah proses mengasah kecerdasan sekaligus pencerdasan.
Canda Makna
Seperti yang saya ungkapkan di atas, tujuan pertama dari sebuah canda makna adalah menyampaikan pesan secara menarik. Saya berteman dengan pelukis Budiyana semenjak tahun 1998an ketika kami sama-sama membentuk Kelompok SEPI. Semenjak itulah kami sering terlibat diskusi, bertukar ide-ide tentang seni rupa pada umumnya dan tak jarang berkarya bersama-sama. Mengamati perkembangan lukisan Budiyana secara sekilas seperti menonton dagelan Mataraman. Lukisan yang baru selalu segar dan ada unsur-unsur kelucuannya.
Lucu, segar, dan menarik. Itulah kesan yang selalu muncul dari lukisan Budiyana. Apakah berhenti pada lucu dan menarik saja? Tentu saja tidak. Dalam kelucuan itu selalu tersimpan makna sebuah pesan yang ingin disampaikan oleh Budiyana kepada penikmat karyanya. Misalnya salah satu lukisan yang dibuat Budiyana pada tahun 2000an berjudul ‘Foto Bareng van Gogh’. Lukisan ini menggambarkan orang-orang berbadan tambun berpakaian Jawa khas lukisan Budiyana sedang berdiri berjajar berfoto dengan Vicent van Gogh pelukis legendaries Belanda. Orang-orang ber-blangkon dan bersarung berfoto bareng van Gogh dengan telinga terbalut dan merokok pipa.
Orang yang melihat lukisan ini biasanya akan senyum-senyum atau tertawa ngakak. Tetapi kalau kita mau berhenti sejenak di depan lukisan ini dan mengupas bungkus candanya, mungkin kita akan menemukan sebuah makna. Mungkin sebuah refleksi atau bahkan sebuah kritik terhadap diri pelukis sendiri atau bahkan pada senirupa Indonesia secara keseluruhan. Bisakah orang Jawa berfoto bejajar dengan van Gogh? Bisakah seniman Indonesia berdiri sejajar dengan seniman Barat? Bisakah seniman Indonesia menggali ke-indonesia-annya sendiri dan sejajar dengan seniman dari seluruh dunia? Ataukah kita hanya akan selalu mengimpor, mengekor budaya dari Negara lain?
Kedua, canda makna adalah sebuah kritik tanpa konflik. Akhir-akhir ini kita mendengar, melihat, dan membaca tentang terjadinya banyak konflik yang tak jarang memakan korban jiwa. Mengapa konflik ini terjadi? Salah satu penyebabnya saya kira adalah perbedaan. Sebuah kelompok masyarakat memberikan saran kepada kelompok yang lain yang mempunyai pendapat berbeda. Namun saran tersebut disampaikan bukan lagi dengan kata-kata namun dengan tindak kekerasan. Apakah sarannya sampai? Saya kira tidak.
Dengan guyon maton, kritikan dan saran bisa disampaikan dengan segar dan halus. Dengan kesegaran dan kehalusan justru biasanya isi pesan akan diterima. Di sinilah saya kira salah satu keunggulan Budiyana karena dia bisa membalut gejala-gejala sosial yang ada dalam masyarakat dengan sebuah canda.
Ketiga, guyon maton ala Budiyana ini memang penuh simbol. Sesudah tersenyum-senyum dengan candanya di permukaan, kita harus menyelam ke dalam mencoba mengurai simbol yang dipakai supaya bisa menemukan maknanya. Kebanyakan tema lukisan Budiyana adalah tema keluarga atau kejadian sosial sebuah masyarakat, yang diwakili oleh masyarakat Jawa. Namun pesan yang disampaikan oleh lukisan-lukisan tersebut tidak hanya terbatas pada masyarakat Jawa tetapi juga tentang masyarakat etnis lain di Indonesia yang budayanya terpinggirkan oleh budaya global. Lukisan-lukisan Budiyana tak jarang adalah catatan sejarah (dengan huruf ‘s’ kecil) tentang kepunahan tradisi yang ada dalam masyarakat Jawa dan tentu saja juga terjadi pada tradisi masyarakat etnis lain.
Lagi-lagi makna terdalam dari canda ini secara keseluruhan adalah: Akankah tradisi atau kebudayaan Jawa (dan etnis lain) mengglobal menjadi Jawawood seperti halnya Bollywood dan Hollywood? Ataukah akan menjadi punah seperti tanaman Jawawut?
Selamat menikmati canda makna Budiyana sambil tersenyum-senyum. Tetapi jangan lupa menyelam lebih dalam supaya Anda berjumpa dengan maknanya. Pameran akan dibuka pada hari Jumat, 2 November 2012, Jam 19.00 di BENTARA BUDAYA YOGYAKARTA, Jl. Suroto 2 Kotabaru Yogyakarta. Pameran akan berlangsung hingga 11 November 2012.